Biaya Logistik Bisa Naik 30% Imbas Perang, Pengusaha Minta Ini dari Pemerintah

Posted on

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyoroti tentang potensi kenaikan biaya logistik di tengah konflik antara Israel dan Iran. Kondisi ini terkait dengan rencana penutupan jalur Selat Hormuz yang merupakan jalur utama perdagangan global.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hipmi Anggawira menilai, kondisi saat ini telah sangat mengkhawatirkan. Hal ini ditambah dengan rencana Iran untuk menutup jalur Selat Hormuz, yang menimbulkan potensi lonjakan pada biaya ongkos impor.

“Biaya logistik mungkin bisa naik hingga 20-30%,” kata Anggawira ditemui di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Senin (23/6/2025).

Kondisi ini otomatis akan ikut mengerek harga sejumlah komoditas, khususnya yang diimpor dari kawasan Timur Tengah. Salah satunya yakni komoditas energi yang menjadi andalan kawasan Timur Tengah, memegang porsi 50% dari kebutuhan dunia.

“Kalau wilayah itu goyang, otomatis pasti akan berdampak ke semuanya. Minyak mentah Brent kan sudah terkerek naik, dari asumsi APBN kita kan di kisaran US$ 80 (per barel). Artinya mungkin bisa lewat dari asumsi APBN kita juga,” ujarnya.

Menurut Anggawira, Indonesia perlu menyiapkan sejumlah langkah antisipatif melalui pembangunan ketahanan di dalam negeri. Hal ini baik dari sisi ketahanan pangan, hingga dari sisi ketahanan energi itu sendiri.

Selaras dengan itu, beragam alternatif perlu disiapkan untuk mengoptimalkan sumber daya dalam rangka menguatkan ketahanan RI. Indonesia perlu melakukan penghematan dan berfokus pada penggunaan sumber daya dalam negeri.

“kita kan nggak menyangka secepat ini eskalasi ketegangan di Timur Tengah, padahal konflik lain juga belum mereda. Jadi menurut saya sekarang kita harus bener-bener menghemat semua yang kita miliki dan mengoptimalkan potensi yang ada di dalam negeri,” kata dia.

Anggawira mengatakan, Hipmi telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, khususnya untuk memperkuat pengusaha yang berada pada level menengah. Salah satunya, diusulkan agar diberikan bantuan dalam bentuk skema keringanan kredit.

“Menurut saya selama ini kucuran untuk pelaku UKM sudah banyak, tapi belum banyak yang perhatikan di pengusaha level menengah. Misalnya ada skema kredit antara Rp 5 miliar s.d Rp 100 miliar, bisa menopang agar mereka bisa growth dan ada inovasi juga. Karena sekarang tanpa ada investasi di inovasi teknologi, itu untuk efisiensi,” jelas Anggawira.

“Dan nggak mungkin kalau itu tidak dibantu oleh government karena rate bunga kita kan cukup tinggi. Jadi kalau misalnya rate bunganya bisa ditekan untuk investasi di pengusaha menengah, minimal mereka bisa bertahan, survive, dan berkompetitif juga,” sambungnya.