Beri Kesempatan Menteri Keuangan Baru

Posted on

Pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan selalu menjadi sorotan publik. Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini langsung meningkat ketika hari pertama pengumuman adanya reshuffle Kabinet Merah Putih. Bahkan di hari pertama pengangkatan Menteri Keuangan yang baru, pasar sempat merespon negatif.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat melemah. Namun untungnya respon negatif ini hanya bersifat reaksioner sesaat karena di hari kedua IHSG dan nilai tukar rupiah sudah mulai mengalami “reborn”.

Tantangan Menteri Keuangan Baru

Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini cukup dapat dipahami. Menteri Keuangan bukan sekadar pejabat teknokratis, tetapi juga aktor politik-ekonomi yang menentukan arah kebijakan fiskal, stabilitas makro, dan persepsi pasar.

Dalam waktu bersamaan, terdapat tantangan yang tidak ringan yang akan dihadapi Menteri Keuangan salah satunya adalah mengurangi anomali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di era pemerintahan Prabowo-Gibran.

Fenomena “anomali pertumbuhan” ini harus menjadi prioritas menteri keuangan baru. Pertumbuhan ekonomi yang sehat bukan sekadar angka statistik, melainkan harus mampu menciptakan lapangan kerja layak, meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah bawah, serta memperkuat daya tahan ekonomi domestik.

Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga relatif tinggi, di atas lima persen. Namun di sisi lain, berbagai anomali justru dirasa mulai muncul di lapangan, menimbulkan pertanyaan apakah pertumbuhan itu benar-benar berkualitas.

Di tengah pertumbuhan ekonomi yang positif, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru dirasa mulai meningkat. Banyak perusahaan, khususnya di sektor manufaktur dan tekstil, mengurangi kapasitas produksi karena melemahnya permintaan global maupun domestik yang disebabkan oleh membanjirnya impor pakaian bekas.

Hal ini memunculkan pengangguran baru baik yang sifatnya pengangguran terbuka maupun yang terselubung (setengah menganggur).

Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di setengah tahun ini malah menggeser pekerja sektor formal ke sektor informal. Lebih dari separuh angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal.

Data ini memperlihatkan rapuhnya struktur ekonomi. Alih-alih menyerap tenaga kerja ke industri modern dengan produktivitas tinggi, pertumbuhan yang terjadi dalam enam bulan terakhir justru mendorong banyak orang ke sektor perdagangan kecil atau jasa informal yang rentan terhadap perubahan.

Indikator lain yang harus diperhatikan oleh Menteri Keuangan yang baru adalah turunnya jumlah tabungan masyarakat kelas menengah bawah, khususnya dengan saldo di bawah Rp100 juta. Fenomena ini populer disebut “mantab” (makan tabungan).

Artinya, pertumbuhan ekonomi belum benar-benar meningkatkan daya beli masyarakat terutama masyarakat menengah bawah. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah atas yang menjadikan ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat masih cenderung tinggi.

Kredit perbankan, yang biasanya menjadi motor pertumbuhan dan penggerak roda industri, justru mulai memperlihatkan perlambatan. Penyaluran kredit bank di akhir pertengahan tahun 2025 hanya tumbuh di sekitaran tujuh persen.

Penurunan ini bukan hanya karena kehati-hatian bank, tetapi lebih karena melemahnya permintaan kredit dari dunia usaha. Bahkan risiko dunia usaha juga meningkat yang diperlihatkan dengan naiknya angka Non-Performing Loan (NPL) kredit perbankan. Kondisi ini menjadikan bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

Di waktu bersamaan, sektor UMKM juga mengalami tekanan. Kredit UMKM di beberapa sektor mengalami penurunan. Padahal selama ini UMKM menjadi penyedia lapangan kerja terbanyak. Kondisi ini menggambarkan naiknya risiko ekonomi dan menurunnya kepercayaan perbankan terhadap keberlanjutan usaha kecil dan menengah.

Apa yang Harus Dilakukan Menteri Keuangan Baru?

Menghadapi situasi ini, Menteri Keuangan baru tidak bisa hanya berfokus pada target angka pertumbuhan. Yang lebih penting adalah kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.

Menteri Keuangan yang baru harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan decent job (pekerjaan layak), mendorong UMKM naik kelas, memperluas kelas menengah, dan memperkuat struktur ekonomi daerah.

Program mengguyur likuiditas perbankan dengan dana milik pemerintah yang mencapai RP200 triliun demi mendorong pertumbuhan ekonomi cukup dapat dipahami. Namun langkah ini adalah resep generik jangka pendek.

Program ini juga harus dijalankan ekstra hati-hati. Jika likuiditas di lembaga perbankan terlalu berlebih maka hasilnya bisa kontraproduktif dengan tujuan semula, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan mendorong UMKM dan industri padat karya.

Saat ini likuditas di sektor perbankan sudah cukup ample. Lembaga perbankan memiliki dana yang sangat cukup untuk disalurkan menjadi kredit. Namun permasalahan utama yang dihadapi sektor perbankan saat ini adalah rendahnya permintaan (demand) kredit.

Pertumbuhn kredit yang hanya sekitar tujuh persen bukan disebabkan karena rendahnya likuiditas, namun karena permintaan pasar tidak banyak. Sektor riil terutama industri pengolahan dan UMKM tidak bergerak cepat seperti yang diharapkan sehingga ekspansi usaha juga tidak berjalan cepat.

Menambah likuiditas di tengah permintaan yang rendah dan risiko yang meningkat dikhawatirkan malah akan menjadi racun bagi lembaga perbankan.

Apalagi lembaga perbankan tidak boleh menyalurkan dana berlebihnya ke portofolio keuangan seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan juga Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Jika dipaksakan disalurkan ke dalam kredit maka besar kemungkinan akan terpilih kreditor-kreditor yang tidak berkualitas yang akan berpotensi meningkatkan NPL. Jika tetap dibiarkan mengendap maka bank akan mengalami kenaikan biaya modal karena menanggung biaya simpanan.

Bisa saja bank mensiasati dengan mengganti dana yang disalurkan dimana dana yang disalurkan menjadi dana pemerintah dan dana yang mengendap menjadi dana milik umum.

Namun hal itu tidak menyelesaikan masalah karena ibarat mengganti kantong, dari kantong kiri menjadi kantong kanan. Langkah ini hanya menyelesaikan permasalahan politis saja alih-alih masalah ekonomi dan tata kelola penyaluran kredit.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Oleh karena itu, kebijakan mengguyur likuiditas harus disertai dengan kebijakan lain yang dapat menciptakan permintaan di pasar kredit. Salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Program MBG dapat menjadi instrumen kebijakan fiskal yang tidak hanya berorientasi pada gizi anak sekolah, tetapi juga sebagai sumber permintaan bagi produk-produk berbasis kearifan lokal. Program MBG bisa diarahkan untuk menjadi faktor pendorong perekonomian daerah berbasis produk-produk pangan lokal.

Agar program MBG dapat berfungsi sebagai penggerak ekonomi, dibutuhkan lembaga produksi dan distribusi yang kuat dalam hal ini program Koperasi Merah Putih yang ada di setiap desa bisa menjadi program pendukung yang sangat kuat.

Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dari program Menteri Keuangan baru ini terletak pada integrasi kedua program ini. Program MBG menciptakan permintaan, sementara koperasi menjadi penyedia pasokan. Program MBG dan Koperasi Merah Putih harus menjadi satu kesatuan ekosistem yang utuh sehingga bisa saling menguatkan.

Langkah Menteri Keuangan baru yang meminta laporan real time pelaksanaan dan realisasi anggaran dari Badan Gizi Nasional (BGN) merupakan langkah tepat yang bisa mendorong program MBG menjadi motor penggerak perekonomian.

Jika program MBG bisa menjadi motor penggerak perekonomian maka konsep pertumbuhan ekonomi “desa mengepung kota” akan berhasil lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi desa mengepung kota akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan lebih adil.

Indonesia pernah mengenal program “desa mengepung kota” yang digagas salah satu bank BUMN di awal tahun 2000-an. Program ini menekankan pentingnya membangun ekonomi desa sebagai basis pertumbuhan.

Program yang digagas bank milik pemerintah ini bisa dikatakan berhasil dan saat ini menjadikan bank plat merah tersebut sebagai salah satu bank dengan aset terbesar di Indonesia.

Meski konsepnya menjanjikan, implementasi tentu penuh tantangan, mulai dari koordinasi antar kementerian, masalah tata kelola, kapasitas koperasi, hingga monitoring dan evaluasi. Belanja untuk MBG dan penguatan koperasi tentu membutuhkan dana besar. Namun, jika dirancang sebagai investasi sosial-ekonomi jangka panjang, program ini justru bisa memperkuat basis pajak di masa depan yang tentunya berujung pada penambahan pendapatan negara yang berkelanjutan.

Penulis:

Agus Herta Sumarto
Ekonom INDEF dan Dosen FEB UMB beri