Kredit macet atas pembiayaan peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online di Indonesia meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Per September 2025, angka kredit macet atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) mencapai 2,82%.
Angka TWP90 naik 0,22 poin persentase dibandingkan dengan bulan Agustus 2025 yang berada di posisi 2,60%. Angka tersebut juga melonjak 0,44 poin persentase dibandingkan dengan periode yang sama di September tahun lalu sebesar 2,38%.
Ketua Bidang Edukasi, Literasi, Riset Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Marcella Chandra Wijayanti mengatakan penyesuaian angka kredit macet bersifat musiman. Apalagi mengingat kondisi makro perekonomian saat ini masih terus dilanda ketidakpastian.
“Wajar di perbankan juga pasti begitu. Karena ada season, terutama kondisi makro ini nggak bisa dipungkiri,” kata Marcella di Plaza Singapura, Singapura, ditulis Kamis (13/11/2025).
Menurutnya, banyak hal tak terduga yang bisa terjadi di tengah kondisi makro seperti sekarang ini. Misalnya, bisa saja ada pelanggan yang mendadak kehilangan pekerjaan atau tertimpa musibah di pertengahan waktunya membayar cicilan utang.
“Orang yang ketika pinjam (dana) punya kerjaan, ketika balikin lagi nggak ada kerjaan, atau warungnya (tiba-tiba) sepi atau apa, itu beneran terjadi ya. Apalagi nanti menjelang puasa itu (harga kebutuhan pokok) lebih mahal lagi. Sekarang kriminalitas juga naik banget,” ujar Marcella.
Marcella juga menyinggung tentang adanya gerakan gagal bayar yang sengaja dilakukan oleh sejumlah peminjam atau borrower tak bertanggung jawab. Gerakan tersebut jelas sangat merugikan dan meresahkan.
Meski demikian, platform-platform pindar dapat bergerak cepat menerapkan blokir bagi para borrower yang terdeteksi punya rekam jejak gagal bayar yang parah. Juga dilakukan pengecekan credit scoring untuk menjaring para calon peminjam.
“Sebenarnya platform P2P lending memang teknologinya jadi makin canggih kan. Jadi kita bisa makin mendeteksi intensi orang. Kita bisa mendeteksi mana sih good quality borrower, mana yang nggak. Yang nggak ya pasti akan di-reject,” terang Marcella.
AFPI juga terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membasmi kelompok-kelompok penggerak gagal bayar tersebut melalui pembentukan task force atau satuan tugas (satgas). Koordinasi juga terjalin bersama aparat penegak hukum dalam hal penindakan para borrower gagal bayar ini.
Non-Performing Loan (NPL) industri menurutnya juga tetap terjaga baik dengan rata-rata di kisaran 2% meski ada gerakan gagal bayar tersebut. Hal ini menunjukkan, industri pindar masih tetap tumbuh baik dan sehat didukung dengan para peminjam berkualitas.
“Kita harus take the risk, ya mau gak mau. Kan sebenernya usaha kita adalah gimana risk ini bisa turun. Kalau kita cuma fokus sama yang 2%, nggak tumbuh industrinya. Kalau bisnis kayak gitu kita prinsipnya, we need to focus on our main user. Dan untungnya our main user ini, mereka user-user yang bagus,” papar Marcella.
Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan nominal outstanding pembiayaan Peer to Peer (P2P) Lending (pinjaman daring/pindar) atau yang juga dikenal dengan pinjol per September 2025 sebesar Rp 90,99 triliun. Jumlah itu meningkat 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Angka Rp 90,99 triliun tersebut meningkat 22,16% dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 74,48 triliun. Sedangkan secara bulanan, angka itu juga naik sekitar 3,86% dari bulan Agustus 2025 yang mencapai Rp 87,61 triliun.
Pertumbuhan pembiayaan itu diiringi dengan peningkatan kredit macet atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) mencapai 2,82% pada September 2025, lebih tinggi sedikit dibandingkan Agustus 2025 di level 2,60%. Artinya, orang yang tak bayar utang pinjol bertambah banyak. warga
