Banyak Pekerjaan ‘Lenyap’ di 2030, Tenaga Kerja RI Tak Sebanding dengan AI?

Posted on

Riset dari Future Jobs Report 2025 mengungkap sejumlah pekerjaan yang diperkirakan akan ‘hilang’ pada 2030, atau dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi dan perkembangan artificial intelligence (AI), serta pergeseran demografi juga tengah membentuk kembali pasar tenaga kerja baru.

Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, mengatakan ada potensi peningkatan angka pengangguran hingga lebih dari 5% jika kesiapan tenaga kerja di RI belum menyesuaikan dengan kebutuhan industri saat ini.

“Sepanjang kita bisa menciptakan tenaga kerja yang berkualitas, yang juga harus dibarengi dengan upskilling, sebetulnya kita bisa menekan pertumbuhan pengangguran. Tetapi, kalau seandainya itu gagal dilakukan, miss-match skill itu masih terjadi, maka jelas pasti akan ada potensi peningkatan pengangguran bahkan hingga lebih dari 5% dari total angkatan kerja. Kalau pekerjaan-pekerjaan yang tadi hilang karena otomatisasi, tidak digeser atau digantikan oleh pekerjaan lain yang menghasilkan nilai tambah,” ujar Media saat dihubungi detikcom, Rabu (16/7/2025).

Media mengungkap, kondisi tenaga kerja Indonesia yang telah menempuh pendidikan tinggi hanya sebesar 13% dari total tenaga kerja. Lalu, ada sebanyak 60% tenaga kerja RI yang bekerja di sektor informal.

“Faktanya, hari ini hanya 13% tenaga kerja yang punya pendidikan tinggi, dan hampir 60% tenaga kerja kita itu kerja di sektor informal. Seperti yang kita tahu, kalau di sektor informal itu tidak punya banyak kesempatan untuk melakukan peningkatan keterampilan atau upskilling. Jadi memang ada beberapa kesenjangan, soal skill gap. Termasuk juga miss-match antara kurikulum pendidikan kita dengan kebutuhan dunia kerja pasca-2030,” beber Media.

Strategi yang bisa dilakukan untuk meredam naiknya angka pengangguran RI, imbas dari ‘hilang’-nya sejumlah profesi, bisa dengan meningkatkan program vokasi dan upskilling. Selain itu, menurut Media, penting untuk berinvestasi di sektor ekonomi kreatif dan digital.

“Banyak BLK (Balai Latihan Kerja) yang pelatihannya itu masih berkutat di sektor-sektor yang tidak betul-betul menghasilkan nilai tambah, atau sesuai dengan kebutuhan dunia kerja selama beberapa waktu ke depan. Ketimbang menggunakan uang investasi triliunan rupiah untuk program-program ambisius, sebetulnya kalau negara mau berinvestasi pada peningkatan skill dari pekerja informal kita lewat BLK, itu jauh lebih berdampak bagi industri dan sektor ketenagakerjaan kita ke depan,” ujar Media.

Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan meskipun persentase pengangguran RI di 2030 terjaga di bawah 4,76%.

“Namun variasi jenis pekerjaan yang penganggurannya akan tinggi adalah yang bisa digantikan oleh AI. Jadi, ada diversifikasi pengangguran di kita, termasuk diversifikasi jenis pekerjaan baru,” ujar Tauhid.

Lebih lanjut, Tauhid mengatakan kondisi sumber daya manusia (SDM) di Tanah Air masih belum bisa dikatakan siap untuk mampu bersanding dengan perkembangan teknologi yang pesat. Terutama, sampai dengan saat ini belum ada banyak instansi pendidikan yang mampu mengakomodasikan kebutuhan industri yang berkembang pesat, terutama bidang teknologi AI.

“Saya kita kalau dari sisi SDM, kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Pasti dengan situasi ini, penyerapan tenaga kerja yang berbasis AI atau teknologi baru akan berarti terbatas bisa dimanfaatkan. Kalau pun ada, tidak semua kampus bisa menghasilkan lulusan yang begitu banyak dengan kebutuhan AI yang cukup berkembang di kita,” pungkas Tauhid.

Saksikan Live DetikSore :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *