Baja Impor Ancam Produk Lokal, Pemerintah Mesti Turun Tangan

Posted on

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional hingga 6-8%. Guna mencapai target tersebut, industri tanah air, seperti industri baja nasional sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi tulang punggung pembangunan dan peningkatan ekonomi nasional.

Dengan permintaan baja yang terus meningkat seiring pembangunan infrastruktur, hilirisasi industri, dan pertumbuhan sektor manufaktur, pasar domestik diperkirakan akan tumbuh pesat. Namun sayangnya, potensi ini masih memiliki sejumlah tantangan.

Harry Warganegara, Direktur Eksekutif IISIA menjelaskan, industri baja merupakan pilar pembangunan nasional yang menghasilkan produk vital bagi berbagai sektor, mulai dari HRC, CRC, HRP, BjLS, BjLAS, Baja Profil, hingga Baja Konstruksi.

“Mulai dari penyerapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung, kontribusi pada sektor hilir seperti konstruksi dan manufaktur, hingga pajak dan devisa Negara. Sebab itu kami sangat berharap agar impor baja yang mengganggu industri baja nasional agar segera dihentikan,” terang Harry dalam keterangan tertulis, Jumat (12/9/2025).

Ketua Umum IZASI (Indonesia Zinc-Aluminium Steel Industrie) Stephanus Koeswandi menilai impor baja beberapa tahun terakhir ini semakin mengkhawatirkan.

Neraca perdagangan baja masih mengalami ketimpangan signifikan. Volume impor baja, yang didominasi produk hot-rolled, cold-rolled, dan coated products, mampu menembus hingga 8,72 juta ton, jauh melampaui volume ekspor Indonesia yang hanya sebesar 5,96 juta ton.

Derasnya arus impor menjadi ancaman serius bagi industri baja nasional, yang secara langsung tercermin dari capaian utilisasi kapasitas produksi domestik anjlok hingga kurang dari 40% dari total kapasitas terpasang, angka terendah dalam beberapa tahun terakhir.

Situasi yang sama juga terjadi di industri hilir dengan adanya lonjakan impor baja konstruksi yang sudah terfabrikasi atau Prefabricated Engineered Building (PEB) yang tercatat menembus 712 ribu ton di tahun 2024.

“Kondisi ini tidak hanya mengganggu stabilitas rantai pasok nasional, tetapi juga melemahkan daya saing industri baja dalam negeri yang merupakan tulang punggung di beberapa sektor strategis seperti konstruksi, otomotif, dan manufaktur,” terang Stephanus.

Guna mengatasi hal ini, Stephanus mengaku dirinya kini tengah belajar dari negara lain bagaimana mereka melindungi industri baja di negaranya. Seperti di Kanada yang saat ini menetapkan kuota terbuka.

“Jadi kuota yang tidak berdasarkan kebijaksanaan tapi kuota yang transparan. Jadi pejabat-pejabat ini, pemangku kepentingan di Negara tersebut bisa melihat langsung perlu atau tidaknya impor dilakukan,” jelasnya lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *