Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyoroti lemahnya peran perbankan nasional dalam mendukung pembiayaan proyek hilirisasi industri di Indonesia. Hal ini membuat proyek hilirisasi dibiayai lembaga keuangan asing, namun dalam perjalanannya, Bahlil dikritik lantaran hilirisasi hanya bisa dinikmati oleh asing.
“Dulu kan nggak ada perbankan nasional kita yang membiayai secara baik. Mohon maaf ya, saya memberikan masukan sedikit para ekonom ya. Perbankan kita coba cek di tahun 2022, mana perbankan yang membiayai hilirisasi. Setelah itu para ekonom mengatakan bahwa hilirisasi itu hanya bertumpu pada asing, tidak pada dalam negeri. Ya mau gimana yang biayai kreditnya di luar,” katanya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
Dengan kondisi itu, Bahlil mendorong lembaga pembiayaan yang dapat membiayai proyek hilirisasi agar nilai tambah dapat dirasakan di dalam negeri. “Alhamdulillah Pak Presiden Prabowo mempunyai komitmen untuk membangun Danantara dan sekarang semuanya dibiayai oleh Danantara,” katanya.
Bahlil menambahkan, saat ini 18 dokumen pra feasibility study (pra-FS) proyek hilirisasi sudah diserahkan ke Danantara untuk ditindaklanjuti. “Jadi itu udah mulai jalan. Pra FS nya udah, sekarang FS udah putus di atas, sekarang tinggal eksekusi dan 75% dari situ, dari sektor ESDM,” katanya.
Sebelumnya, Bahlil telah menyerahkan dokumen pra-studi kelayakan proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi nasional kepada Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Roeslani di kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2025). Dalam dokumen tersebut memuat 18 proyek hilirisasi dengan nilai investasi Rp 618,13 triliun.
Bahlil mengatakan proyek-proyek ini mencakup delapan hilirisasi mineral dan batu bara (minerba), tiga hilirisasi pertanian, tiga hilirisasi kelautan dan perikanan, dua hilirisasi transisi energi, dan dua hilirisasi ketahanan energi.
“18 proyek yang sudah siap pra-FS. Dengan total investasi sebesar US$ 38,63 miliar, atau setara dengan Rp 618,3 triliun. Ini di luar ekosistem baterai mobil,” kata Bahlil.
