Negara Ini Terlilit Utang Rp 218 T, Presidennya Bingung Mau Bayar Pakai Apa

Posted on

Bolivia kini tengah berjuang melawan krisis ekonomi berisiko gagal membayar utang luar negeri mereka. Menambah keresahan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.

Melansir France24 yang mengutip dari AFP, Sabtu (21/6/2025), Presiden Bolivia Luis Arce Catacora mengatakan risiko gagal bayar utang ini semakin besar terjadi jika negara itu tak segera mendapat sumber pendanaan baru.

“Kami berusaha untuk tidak gagal bayar. Kami memiliki niat untuk membayar utang kami, tetapi bagaimana jika kami tidak memiliki sumber daya?” kata Arce dalam sebuah wawancara di kantornya di La Paz, Ibu Kota Bolivia.

Utang Bolivia tembus US$ 13,3 miliar atau setara Rp 218,06 triliun (kurs Rp 16.396/dolar AS). Sebagian besar utang ini berasal dari Bank Pembangunan Inter-Amerika, Bank Pembangunan Amerika Latin dan Karibia (CAF), Bank Dunia, dan China.

Menurut Bank Dunia, besaran utang yang melilit Bolivia tersebut mewakili lebih dari 37% dari pendapatan nasional brutonya. Terakhir kali negara itu gagal bayar utang adalah 41 tahun lalu pada 1984.

Di sisi lain, Arce mengaku pemerintah tidak mendapatkan izin dari parlemen untuk mencari pinjaman baru senilai US$ 1,8 miliar atau Rp 29,51 triliun dari lembaga multilateral. Sementara menurutnya negara itu membutuhkan US$ 2,6 miliar atau 42,62 triliun pada Desember untuk impor bahan bakar dan pembayaran utang luar negeri.

“Kita membuat kesepakatan terburuk sebagai sebuah negara. Karena saat negara memiliki utang luar negeri, Anda membayar pokok dan bunga kepada kreditor, dan arus keluar dolar itu dikompensasi oleh arus masuk pencairan baru dari utang baru, yang tidak terjadi,” katanya.

Perlu diketahui, Bolivia merupakan rumah bagi 12 juta orang dan mayoritas penduduk asli. Mereka merupakan salah satu negara termiskin di benua itu meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti gas dan litium.

Kondisi ini bermula pada 2023 lalu saat perusahaan minyak dan gas milik negara, YPFB, mengatakan Bolivia kehabisan gas alam karena kurangnya investasi dalam eksplorasi baru. Padahal gas alam adalah produk ekspor paling penting di negara itu.

Penurunan tajam dalam ekspor gas alam ini kemudian menyebabkan cadangan mata uang asing anjlok, membuat Bolivia tidak dapat mengimpor bahan bakar yang cukup yang disubsidi besar-besaran untuk pasar domestik.

Hingga pada akhirnya inflasi terus terjadi sampai tertinggi pada Mei lalu yang mencapai 18,4% secara year-on-year. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam hampir dua dekade terakhir, membuat mata uang lokal mereka yakni Boliviano terus kehilangan nilainya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *