Perusahaan penyedia layanan transportasi online, Maxim, buka suara terkait wacana Pemerintah terkait perubahan status kerja pengemudi transportasi online seperti ojek online (ojol) untuk kendaraan roda dua maupun taksi online untuk kendaraan roda empat.
Sebelumnya, Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berencana mengubah status pengemudi transportasi online dari mitra menjadi bagian dari UMKM. Sementara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ingin pengemudi transportasi online untuk ditetapkan sebagai karyawan tetap.
Dalam hal ini, Maxim mengatakan kebijakan terkait status kerja kemitraan pengemudi online harus dikaji dan dipertimbangkan secara komprehensif dan turut menilai konsekuensi yang terjadi untuk pengemudi maupun untuk perekonomian Indonesia.
Terkait Revisi Undang-Undang untuk memasukkan mitra pengemudi menjadi bagian dari UMKM, Maxim menegaskan bahwa perusahaan ingin memastikan kebijakan tersebut benar-benar dapat membantu para mitra pengemudi, serta tetap menghargai aspek fleksibilitas dan kemandirian.
“Skema klasifikasi UMKM ini menawarkan alternatif yang inklusif, strategis, dan selaras dengan semangat transformasi digital, namun harus dikelola dengan posisi yang jelas dan koordinasi antar seluruh pemangku kepentingan,” kata Rafi Assagaf selaku Government Relation Maxim Indonesia dalam keterangan resminya, Selasa (29/4/2025).
“Pendekatan kebijakan yang seimbang, dengan melibatkan masukan dari berbagai stakeholder, sangat penting untuk menjamin kesejahteraan tanpa mengorbankan inovasi, akses hingga ekosistem transportasi online,” jelasnya lagi.
Ia mengatakan perusahaan menghargai dan mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan ekosistem transportasi online dengan memperkuat posisi para mitra pengemudi di dalamnya, salah satunya dengan wacana klasifikasi pengemudi sebagai UMKM.
Dalam hal ini, Maxim menilai dengan model kemitraan yang dimasukkan ke dalam kategori UMKM dapat menjadi solusi yang cocok untuk mendukung kesejahteraan dan perlindungan pengemudi transportasi online.
Sebab menurutnya model kemitraan dengan klasifikasi UMKM untuk saat ini lebih selaras terhadap struktur ekonomi digital Indonesia. Di mana konsep ini tetap memungkinkan fleksibilitas bagi para driver, akses pendapatan, kemandirian, sekaligus membuka ruang bagi perlindungan sosial dan dukungan pembinaan yang lebih terstruktur, termasuk kemungkinan integrasi ke dalam skema UMKM secara fungsional.
“Selain itu, pengemudi bisa mendapatkan beberapa kemudahan dari pemerintah sehingga beban untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi tidak hanya dilimpahkan seluruhnya kepada aplikator,” sambung Rafi.
Sementara terkait dengan rancangan untuk memasukkan pengemudi transportasi online sebagai pekerja tetap, Maxim menilai rencana tersebut bukan gagasan yang tepat dan bertolak belakang dengan sifat hubungan kerja antara perusahaan dengan pengemudi.
Sebab secara khusus, status karyawan menyiratkan jam kerja minimal 40 jam seminggu, jadwal kerja yang jelas, dan pemenuhan pesanan hanya dari satu aplikator. Sehingga status karyawan justru akan memberatkan pengemudi yang tidak dapat memenuhi syarat sebagai pekerja tetap yang juga akan menghilangkan fleksibilitas dan kenyamanan sistem kerja bagi pengemudi.
“Perubahan status mitra pengemudi menjadi karyawan berpotensi mengurangi daya serap kerja yang selama ini mampu menampung jutaan pencari nafkah di sektor ini dan juga dapat menambah beban operasional bagi perusahaan. Pada akhirnya, hal ini membuat banyak orang akan kehilangan mata pencaharian mereka yang juga akan berdampak pada menurunnya perekonomian secara keseluruhan,” terangnya.
Di luar itu, Rafi menegaskan kebijakan yang berhubungan dengan sektor transportasi online seperti ojol ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor. Hal tersebut dikarenakan ride-hailing merupakan industri yang telah mendorong pertumbuhan perekonomian digital di Indonesia secara signifikan.
Selain mendukung mobilitas masyarakat, menurutnya sektor ini juga memberikan kesempatan untuk jutaan masyarakat agar dapat memperoleh penghasilan baik sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan pendukung.
“Kami tentunya sangat mendukung proses dialog yang inklusif antara pemerintah, aplikator, perwakilan mitra pengemudi dan konsumen agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan realitas di lapangan. Selain berpihak pada kesejahteraan pengemudi dan kenyamanan konsumen, perencanaan setiap kebijakan juga harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem serta ruang inovasi sektor ini ke depan,” tutup Rafi.