Pasti ada hikmah di balik bencana banjir di Sumatera dan harus dijadikan momentum terobosan reforma agraria untuk menegakkan keadilan dalam pemilikan tanah sekaligus koreksi atas degradasi lingkungan hidup.
Dalam sejarah kebijakan publik, krisis justru menjadi jendela kebijakan (policy window) untuk melakukan koreksi struktural. Semua pihak terutama harus mencari cara dan kebijakan korektif terhadap masalah ini.
Banjir di Sumatera ini bukan sekadar musibah, tetapi peringatan keras atas deforestasi dan ketimpangan penguasaan tanah. Karena itu, kebijakan reforma agraria adalah solusi yang mendasar dan bersifat struktural, konstitusional, serta berorientasi jangka panjang.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Dari dasar pemikiran tersebut, harus ada format kebijakan (policy brief) yang mendesak dan dapat langsung digunakan oleh Presiden, kementerian/lembaga, DPR, dan pemerintah provinsi. Meskipun sekarang masih harus bergulat dengan pekerjaan jangka pendek membantu korban banjir, harus sudah ada pihak yang memikirkan solusi jangka panjang dari masalah banjir besar ini.
Permasalahan dan isu utama yang dihadapi dalam fenomena banjir Sumatera adalah masalah struktural, yakni ketimpangan penguasaan tanah dan degradasi DAS. Banjir berulang di berbagai wilayah Sumatera bukan semata fenomena alam, melainkan akumulasi kegagalan tata kelola lahan dan DAS.
Alih fungsi hutan dan penguasaan lahan skala besar telah menciptakan risiko bencana sistemik. Ini semua merupakan isu jangka panjang yang harus diselesaikan secara sistematis mulai saat ini, bersamaan dengan pemulihan dan bantuan bagi korban bencana.
Kerangka kebijakan yang harus diambil adalah menemukan hikmah dari bencana lalu melakukan koreksi struktural terhadap penguasaan tanah dan pengaturan tata ruang yang layak secara ekologis.
Karena itu, perlu dibuat kebijakan Reforma Agraria Sumatera sebagai kebijakan korektif dan preventif untuk: (1) mengurangi risiko banjir secara struktural, (2) menata ulang penguasaan dan penggunaan tanah, (3) memberi kepastian hak tanah bagi rakyat dan korban bencana, dan (4) memulihkan fungsi ekologis DAS.
Kebijakan ini harus dijalankan untuk mengatasi masalah yang sudah terlanjur terjadi, seperti fungsi hutan yang rusak, konsesi besar (HTI, sawit) yang menutup ruang resapan, serta ketimpangan penguasaan tanah. Pelaksanaan usulan ini tidak memerlukan undang-undang baru karena telah memiliki dasar konstitusional dan hukum yang kuat. Yang dibutuhkan adalah keputusan politik lintas sektor.
Akar masalahnya adalah komplikasi di hulu, tengah, dan hilir-baik akibat deforestasi, konsesi HTI dan sawit di wilayah tangkapan air, maupun ketimpangan penguasaan tanah, petani gurem, dan konflik agraria. Banjir merupakan indikator kegagalan tata ruang dan agraria, bukan sekadar bencana alam.
Dalam keadaan kritis dan darurat seperti ini, negara sah secara hukum melakukan redistribusi tanah demi keselamatan rakyat dan lingkungan. Yang mendesak, negara harus mampu mengembalikan fungsi ekologis lahan sekaligus mendistribusikan tanah secara adil kepada rakyat kecil, petani, dan korban bencana.
Kebijakan baru harus dibuat dengan tujuan yang jelas untuk mengurangi risiko banjir melalui penataan ulang ruang dan tanah secara tegas dengan pengawasan publik (masyarakat sipil, kampus, ormas), sekaligus mewujudkan aspek keadilan dengan melakukan koreksi atas penguasaan tanah. Tujuan jangka panjangnya adalah memulihkan fungsi ekologis DAS secara berkelanjutan.
Desain kebijakan reforma agraria dilakukan sekaligus dari hulu sampai hilir. Masalah deforestasi dan izin skala besar yang tidak layak dan menyimpang dikoreksi melalui kebijakan perhutanan sosial dan Reforma Agraria Ekologis, sekaligus konversi hutan produksi kritis menjadi hutan desa, hutan adat, dan agroforestri rakyat.
Hak kelola kolektif selama 35 tahun diberikan oleh negara. Program ini selayaknya dapat dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ATR/BPN. Kebijakan redistribusi tanah dan konsolidasi tanah dijalankan di zona tengah dengan sumber lahan dari tanah terlantar, ilegal, eks konsesi HTI, dan HGU yang telah berakhir.
Distribusi diberikan sekitar 2 hektare per kepala keluarga, seperti program transmigrasi pada zaman Orde Baru, dengan sertifikat hak milik atau hak usaha terbatas. Pemerintah menerapkan larangan jual selama 10-15 tahun. Koperasi Merah Putih dapat berperan di sini.
Masalah struktural yang terjadi sudah menyimpang dari konstitusi dan kini saatnya kembali kepada konstitusi. “Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
Pemerintah harus menjadikan kebijakan ini sebagai program nasional mitigasi bencana, di mana Presiden, melalui dasar Peraturan Presiden, membentuk satuan tugas pemulihan bencana, perbaikan tata ruang, dan distribusi tanah untuk rakyat.
Tidak hanya konstitusi, Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) juga dapat dijadikan dasar kebijakan ini, di mana negara berwenang mengatur peruntukan tanah, membatasi penguasaan berlebihan, dan melakukan redistribusi tanah.
Didik J Rachbini
Rektor Universitas Paramadina






