Di sudut-sudut kota, para pemulung kerap dipandang sebelah mata. Mereka bergulat dengan risiko kesehatan, stigma sosial, dan perlindungan ekonomi yang dinilai jauh dari kata layak. Namun kondisi ini jauh berbeda dengan sekelompok pemulung di kawasan Serpong, Tangerang Selatan.
Di sana ada sebuah Koperasi Pemulung Berdaya atau Recycle Business Unit (RBU) yang menampung pemulung sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang untuk kemudian menjadi pengusaha daur ulang sampah dengan omzet miliaran rupiah.
Sekretaris Koperasi Pemulung Berdaya, Juleha, menjelaskan koperasi ini pertama kali berdiri berkat program pemberdayaan masyarakat dari salah satu perusahaan air minum dalam kemasan ternama pada 2013 lalu. Dari program ini, mereka disediakan lahan hingga mesin yang dapat digunakan untuk mengolah sampah botol plastik.
“Melalui program CSR, di mana mereka bekerja sama dengan para pemulung, kemudian membentuk lah koperasi. Jadi, didirikan koperasi di mana yang anggotanya adalah para pemulung,” terangnya kepada detikcom, Senin (17/11/2025).
Ia mengatakan saat awal pembentukan koperasi, sekitar 70% anggotanya adalah pemulung, sementara sisanya adalah mereka yang bekerja membantu dalam proses bisnis daur ulang agar bisa berjalan mandiri dan memberikan pendapatan yang berkelanjutan.
Saat ini Koperasi Pemulung Berdaya sudah menjadi rumah dan sumber pendapatan bagi 59 anggotanya. Berbeda dengan para pemulung yang besaran pendapatannya tidak tetap, bergantung pada hasil sampah yang berhasil dikumpulkannya, anggota koperasi mendapatkan gaji tetap hingga uang bagi hasil usaha.
Namun Juleha menekankan untuk usaha daur ulang atau RBU, ada kemungkinan para pemulung tak mendapatkan bagi hasil saat keuntungan koperasi sangat tipis karena berbagai hal. Misal saat harga jual produk olahan botol plastik tak kompetitif dan lain sebagainya.
“Untuk RBU-nya sendiri kita ada gaji, kemudian ada bagi hasil juga. Dari bagi hasil kan dari keuntungannya. Kalau gaji tuh untung atau nggak untung ya mereka tetap dapat gaji. Jadi selain dapat gaji mereka juga dapat SHU namanya kalau di koperasi, sisa hasil usaha, dibagikan setahun sekali,” jelas Juleha.
“Kalau misalnya dalam setahun itu ternyata kita nggak untung, tapi kita ada unit simpan pinjam juga. Kalau simpan pinjam sudah pasti untung di situ. Kalau misalnya dari bisnisnya kita tidak untung tapi dari simpan pinjamnya kita ada keuntungan, maka SHU yang dibagikan dari SHU simpan pinjam,” sambungnya.
Sementara untuk besaran gaji, anggota koperasi setiap bulan mendapatkan Rp 2,5 – 4 jutaan. Meski besaran gaji ini masih di bawah Upah Minimum Tangerang Selatan yang berada di Rp 4.974.392, namun gaji para pemulung ini masih jauh lebih tinggi dari unit usaha daur ulang lainnya.
“Kalau kami di sini yang baru Rp 2,5 juta per bulan, yang lama-lama bisa sampai Rp 4 jutaan lah per bulan. Tapi untuk pekerjaan daur ulang ini, koperasi ini yang paling tinggi. Karena kita sudah tanya-tanya, sudah lama kerja padahal, tapi dapat gaji paling Rp 1,5 juta doang di tempat lain,” jelasnya.
Selain mendapatkan gaji dan bagi hasil, Juleha mengatakan anggota koperasi juga mendapat jaminan BPJS ketenagakerjaan. Belum cukup, bahkan sebelumnya anggota juga sempat mendapatkan bantuan BPJS Kesehatan, namun fasilitas ini tak banyak digunakan karena mayoritas anggota yang berasal dari keluarga pemulung merupakan peserta Bantuan Subsidi Upah (BSU) Kartu Indonesia Sehat (KIS).
“Di sini juga ada BPJS ketenagakerjaan, kalau di tempat saya nanya itu kadang nggak dapat. BPJS Kesehatan tiga bulan pertama, misalnya kita masuk hari ini, tiga bulan pertama kita bayarin, selanjutnya mereka bayar sendiri. Cuma itu pas tahun 2015-an gitu ya, sekarang itu mereka nggak mau, mereka maunya pakai KIS. Jadi yang gratis (iuran),” terangnya. raup






