Industri kripto di Indonesia berkembang pesat. Pada 2024, nilai transaksi kripto mencapai Rp 650,61 triliun atau meningkat lebih dari 335% dari tahun sebelumnya. Bahkan, kini Indonesia menempati peringkat ketiga adopsi kripto dunia.
Selain itu, per Juli 2025, total transaksi kripto sudah mencapai Rp 276,54 triliun dengan 16,5 juta akun. Namun, di balik pertumbuhan pesat, industri kripto tak terlepas dari permasalahan maraknya platform ilegal serta adaptasi peralihan regulasi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menemukan aset kripto berpotensi meningkatkan kedalaman inklusi keuangan di Indonesia terutama dengan memberikan akses kepada masyarakat terhadap investasi digital dengan denominasi kecil.
Dari survei terungkap bahwa 82% dari 1.227 responden membeli aset kripto untuk untuk investasi jangka panjang. Namun, selain platform legal, terdapat cukup banyak responden yang menggunakan platform ilegal. Ada sekitar 5% dari total responden menggunakan platform ilegal.
Hal ini menandakan masih perlu adanya insentif untuk mendorong lebih jauh penggunaan platform legal, salah satunya dengan meningkatkan variasi aset kripto melalui stablecoin dan tokenisasi serta penetapan tingkat pajak yang kompetitif. Tarif pajak yang tidak kompetitif dapat mendorong pengguna bermigrasi ke platform ilegal.
“Pergeseran pajak dari PPN ke PPh tanpa penindakan tegas terhadap platform ilegal justru bisa membuat kebijakan pajak tidak optimal karena pengguna akan cenderung bermigrasi ke platform ilegal,” jelas Prani Sastiono, Peneliti LPEM FEB UI dalam keterangannya, Jumat (10/10/2025).
Pada tahun 2024, perdagangan aset kripto pada platform legal selain memberikan penerimaan pajak sebesar Rp 620 miliar juga berkontribusi kepada perekonomian secara keseluruhan.
Menggunakan analisis Input-Output, studi menemukan bahwa perdagangan aset kripto pada platform legal berkontribusi sebesar 0,32% terhadap PDB nasional atau senilai Rp 70,04 triliun serta menciptakan 333 ribu lapangan kerja atau setara dengan 0,23% dari total angkatan kerja.
Di sisi lain, perdagangan aset kripto pada platform ilegal diperkirakan sebesar 1,67-2,66 kali dari perdagangan pada platform legal. Hal ini mengakibatkan adanya kehilangan potensi penerimaan pajak pemerintah sebesar Rp 1-1,7 triliun dan kontribusi yang lebih luas kepada perekonomian.
Jika seluruh perdagangan aset kripto pada platform ilegal dapat dialihkan kepada platform legal, maka kontribusi perdagangan aset kripto di Indonesia akan meningkat menjadi Rp 189,46-260,36 triliun atau setara dengan 0,86-1,18% terhadap PDB nasional. Hal ini disertai dengan peningkatan penciptaan kesempatan kerja menjadi 892 ribu – 1,22 juta atau setara dengan 0,62% – 0,85% dari total angkatan kerja nasional.
Menanggapi hasil studi tersebut, OJK selaku regulator aset kripto di Indonesia menyampaikan bahwa pasca peralihan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, OJK menekankan pentingnya riset berbasis akademis sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan.
OJK memandang data dan analisis objektif dari lembaga kredibel seperti LPEM FEB UI dapat memperkuat pemahaman publik sekaligus menjadi acuan strategis untuk pengembangan industri yang sehat dan bertanggung jawab.
“Kami menyambut baik dan mengapresiasi studi komprehensif yang dilakukan oleh LPEM UI mengenai kontribusi kripto terhadap perekonomian Indonesia. Hasil penelitian ini memberikan pandangan akademis yang kuat dan semakin melegitimasi posisi aset kripto sebagai salah satu alternatif instrumen investasi di Indonesia,” ujar Tommy Elvani Siregar.
Sementara itu, PT Central Finansial X (CFX) sebagai bursa aset kripto menyatakan bahwa hasil studi ini menjadi validasi ekosistem aset kripto legal telah memiliki fondasi dan kontribusi yang kuat pada perekonomian nasional.
Direktur Utama CFX Subani mengatakan, hasil studi tersebut dapat menjadi momentum bagi Bursa CFX untuk bersinergi lebih erat dengan regulator dalam hal ini OJK dan para pemangku kepentingan lainnya dalam mendukung perumusan kebijakan yang efektif.
“Kami akan terus memperkuat literasi dan edukasi guna membangun kepercayaan konsumen dan pentingnya bertransaksi di platform yang legal. Kami juga akan mengakselerasi inovasi produk seperti produk derivatif, tokenisasi real world asset (RWA), hingga pemanfaatan kripto sebagai jaminan pinjaman untuk meningkatkan daya saing pasar,” sebut Subani.
“Kami optimistis sinergi ini akan memaksimalkan kontribusi industri bagi perekonomian nasional di masa depan,” lanjutnya.
Dalam diskusi panel, Stella Lukman dari AFTECH menyoroti bahwa aset kripto bersifat borderless, sehingga Indonesia perlu memperkuat daya saing tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga global. Sementara itu, Timon Pieter dari Direktorat Jenderal Pajak menekankan pentingnya kebijakan pajak yang tidak bersifat distortif atau mengubah perilaku pelaku industri kripto.
“Salah satu kebijakan yang disepakati bersama asosiasi dan OJK adalah menerapkan tarif pajak yang lebih tinggi bagi transaksi dengan offshore exchange. Harapannya, hal ini menjadi disinsentif bagi pelaku yang berdagang di platform ilegal,” jelas Timon.
Melihat potensi dan tantangan dari perdagangan aset kripto di atas, LPEM FEB UI menekankan pentingnya kebijakan strategis untuk mendorong pertumbuhan ekosistem perdagangan kripto yang sehat, kompetitif, dan dinamis.
Kebijakan strategis ini berupa penegakan peraturan terhadap operasionalisasi platform ilegal di Indonesia, peningkatan diversifikasi aset kripto, penetapan tingkat pajak yang kompetitif, serta diseminasi informasi yang dibarengi dengan kampanye literasi investasi digital kepada publik yang lebih luas.
Terakhir, kebijakan strategis ini memerlukan adaptasi dan kolaborasi multipihak sehingga perdagangan aset kripto menjadi pilar penting dalam memperkuat ekonomi digital Indonesia yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. warga