Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan dana Rp 200 triliun di bank milik negara (Himbara) merupakan terobosan penting untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan dan investasi.
“Tujuan penempatan dana Rp 200 triliun di bank-bank Himbara adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit yang bisa meningkatkan investasi dan pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Upaya ini harus diapresiasi dan didukung. Agar berhasil, perlu ada kebijakan yang searah dari otoritas moneter serta deregulasi di sektor riil,” ujar Program and Policy Director Prasasti, Piter Abdullah, dalam keterangannya, Rabu (24/9/2025).
Namun, untuk mendorong permintaan kredit, belum cukup dengan menempatkan dana saja. Data menunjukkan bahwa hingga Agustus 2025, pertumbuhan kredit perbankan baru mencapai 7,56% year on year (YoY) dengan rasio Non Performing Loan (NPL) terjaga di bawah 3%.
Likuiditas perbankan relatif ample, tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 120,25% dan terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25%, jauh di atas threshold 10%. Indikator lain juga menggarisbawahi lemahnya permintaan kredit. Undisbursed loan perbankan mencapai Rp 2.372 triliun atau 22,71% dari plafon kredit.
Piter menyebut angka sebesar itu menunjukkan masih banyak dana kredit yang sudah disediakan bank tetapi tidak digunakan oleh dunia usaha. Dia menekankan fokus kebijakan harus diarahkan pada pemulihan kepercayaan usaha dan peningkatan daya beli rumah tangga.
“Lemahnya permintaan (kredit) ini dipicu oleh aktivitas ekonomi pasca-COVID yang belum sepenuhnya pulih, ketidakpastian global akibat perang Ukraina, konflik Israel-Palestina, dan perang dagang yang dipicu kebijakan Amerika Serikat,” ujar Piter.
Sementara itu, Research Director Prasasti Gundy Cahyadi mengatakan, meski Bank Indonesia sudah memangkas suku bunga lima kali sepanjang tahun, termasuk pemotongan mengejutkan sebesar 50 bps pada Deposit Facility di dalam rapat moneter September ini, dunia usaha masih berhati-hati untuk berekspansi dan rumah tangga enggan menambah utang.
Hal ini menegaskan bahwa ketersediaan likuiditas dan penurunan suku bunga tidak serta-merta mampu mendorong penyerapan kredit. Oleh karena itu, kebijakan penempatan dana pemerintah di perbankan harus dipadukan dengan langkah fiskal yang lebih langsung agar tercipta permintaan yang nyata.
“Likuiditas bisa disediakan, tetapi tidak bisa serta-merta membangkitkan semangat usaha. Dibutuhkan penguatan daya beli rumah tangga dan kepercayaan dunia bisnis. Pendekatan yang lebih strategis adalah mengombinasikan keringanan likuiditas dengan langkah fiskal langsung yang meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan merangsang minat investasi,” tuturnya.
Sejalan dengan pandangan tersebut, paket kebijakan ekonomi “8+4+5” senilai Rp16,2 triliun yang diumumkan pada 15 September 2025 menjadi salah satu instrumen utama pemerintah untuk mendorong pertumbuhan.
Dengan target penciptaan tiga juta lapangan kerja hingga akhir tahun, paket ini mengkombinasikan stimulus jangka pendek seperti bantuan beras, insentif pajak, dan program padat karya dengan inisiatif jangka panjang di sektor koperasi, perkebunan, perikanan, dan akuakultur.
Pendekatan ini tidak hanya menyasar konsumsi rumah tangga, tetapi juga memperkuat fondasi produktivitas ekonomi nasional. Namun, terdapat tantangan dalam penyaluran stimulus ekonomi, yakni pada implementasi.
Menurutnya, tanpa pengawasan ketat dan koordinasi yang solid, dampaknya bisa terfragmentasi. Tetapi bila dijalankan konsisten, paket ini berpotensi menjadi katalis nyata pertumbuhan.
“Kami menekankan pentingnya fiskal yang bersifat counter-cyclical. Di tengah lemahnya private sector demand, negara harus hadir lebih kuat. Komitmen Menteri Purbaya membentuk satuan tugas khusus untuk mempercepat belanja adalah langkah tepat. Kini yang terpenting adalah memastikan realisasi berjalan seiring dengan janji,” tambahnya.
Simak juga Video Purbaya soal Rp 200 T Buat Bank: Mereka Orang Pintar, Selama Ini Malas