Rancangan APBN 2026 Dinilai Sentralistik, Ini Alasannya baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Sentralisasi fiskal pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 dinilai makin menguat. Hal ini ditunjukkan oleh kenaikan belanja pemerintah pusat sebesar 16,1%, berbanding terbalik dengan penurunan tajam dana transfer daerah 29,3% dibanding APBN 2025.

Menurut Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara , selain bertentangan dengan semangat desentralisasi fiskal, efek dari sentralisasi anggaran membuat ruang fiskal Pemda makin sempit. Kejadian di Pati soal kenaikan pajak daerah berisiko meluas pada 2026.

“Pemda pastinya bingung efek anggaran ditarik pusat, dan cara instan nya mereka akan lebih agresif naikkan pajak dan retribusi daerah. Yang jadi korban adalah rumah tangga dan UMKM karena dikejar kenaikan tarif pajak,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/8/2025).

Kemudian, efisiensi anggaran masih berlanjut yang artinya APBN di 2026 belum mampu jadi motor pertumbuhan ekonomi. Memang ada tekanan dari sisi utang jatuh tempo, kemudian beban belanja bunga yang naik 227% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pada 2026.

Bhima menilai solusinya bukan dengan efisiensi barbarisme seperti saat ini, melainkan renegosiasi utang dengan kreditur, hingga dorong penerimaan pajak yang lebih kreatif. Efek efisiensi belanja selama dua kuartal pertama 2025, menghasilkan pertumbuhan belanja pemerintah yang negatif.

Anomali Belanja Pemerintah

Ia juga menyoroti perhatian soal anggaran perlindungan lingkungan hidup di 2026 sangat kecil hanya Rp 13,4 triliun atau turun -4,6% dalam 5 tahun terakhir Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum menunjukkan perhatian pada aspek perlindungan lingkungan hidup ditengah krisis iklim.

Bhima lalu menyebut ada anomali besarnya pos anggaran belanja lainnya Rp 488,8 triliun atau naik 50,4% dibanding APBN 2025. Belanja lainnya bisa menjadi tantangan transparansi terutama untuk proyek ketahanan pangan, dan Makan Bergizi Gratis (MBG).

“Pos belanja lainnya ini naik signifikan yang jadi pertanyaan, kenapa tidak di alokasikan dari awal di pos yang sudah ada, kenapa di belanja lainnya? Apa yang mau ditutupi oleh pemerintah sehingga publik kesulitan melacak pos belanja lainnya?” tanya Bhima.

Selanjutnya, MBG naik menjadi Rp335 triliun (naik 371,8% dibanding Rp 71 triliun di 2025) di tengah efisiensi anggaran. Aartinya beban belanja MBG mengambil porsi dana transfer ke daerah atau penambahan utang baru.

“MBG sebaiknya di evaluasi dulu jangan terburu-buru menambah anggaran, masih ada kasus keracunan, nilai gizi yang tidak terstandarisasi, hingga kekhawatiran penyimpangan anggaran di level teknis,” pinta Bhima.

MBG juga berisiko menciptakan distorsi di anggaran pendidikan, padahal PR sektor pendidikan masih banyak termasuk kesejahteraan guru honorer, renovasi sekolah rusak, hingga penyediaan fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar.

Hal lain yang disoroti adalah alokasi anggaran pertahanan melonjak 36,7% di 2026, melebihi pelayanan umum naik 8,6% dan perlindungan sosial yang tumbuh kecil 2,4%. Pertama, alokasi anggaran pertahanan membuat dampak APBN ke ekonomi lebih kecil misalnya dalam menciptakan lapangan usaha dan menaikkan daya saing industri.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Kedua, alokasi anggaran menjadi tidak efektif dan rentan korupsi. Ketiga, upaya mendorong ekonomi tumbuh 5,4% di 2026 justru terhambat oleh alokasi anggaran pertahanan, karena yang dibutuhkan adalah dukungan ke industri padat karya, stimulus pemulihan daya beli masyarakat.

Terakhir soal penerimaan pajak naik signifikan di tengah basis pajak yang tidak berkembang. Artinya pemerintah masih akan berburu di kebun binatang pada 2026. Ia khawatir hal ini kontraproduktif dengan upaya memulihkan kinerja konsumsi kelompok menengah, bukan mendorong kreativitas perpajakan.

“Harusnya pemerintah punya inisiatif untuk mengimplementasikan pajak karbon, dan pajak kekayaan. Dengan target penerimaan pajak yang tinggi, tanpa inovasi baru selain Coretax khawatir shortfall penerimaan tahun 2026 tetap besar. Rasio pajak sulit diatas 11% terhadap PDB,” tutup Bhima.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *