Bangun jam 3 pagi untuk cari kerja bukan hal mudah bagi siapa pun, apalagi untuk Matthew English, seorang akuntan berusia 64 tahun dari Alabama. Sejak Oktober 2024, setelah puluhan tahun berkarier di bidang akuntansi, Matthew sudah mengirim ratusan lamaran kerja, ikut banyak wawancara, dan menjajal berbagai strategi, tapi masih belum dapat kerja.
Pikirannya tak pernah tenang setiap malam. Matthew sering bangun jam 3 pagi untuk mulai mencari kerja. Dia memikirkan pekerjaan mana yang harus dilamar, strategi baru yang bisa dicoba, atau sekadar email ucapan terima kasih yang harus dikirim setelah wawancara. Baginya, rutinitas ini sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.
Karena masih belum mendapat pekerjaan, tabungan Matthew pun harus terkuras untuk biaya hidup. Masalah finansial ini cukup menambah beban mental bagi Matthew. Ia harus hidup irit.
“Tahun lalu saya tidak mampu membeli hadiah Natal untuk keluarga seperti biasanya, dan saya terpaksa memangkas sumbangan amal yang selama ini sangat penting bagi saya,” ujarnya dikutip dari Business Insider, Sabtu (6/9/2025).
Matthew bercerita, awalnya hanya melamar posisi yang sesuai dengan pengalamannya di bidang akuntansi. Namun seiring waktu, ia melamar membuka banyak peluang lamaran, mulai dari freelance, hingga pekerjaan yang tak butuh keahlian khusus.
Dalam satu kesempatan, ia bahkan melamar menjadi maskot sapi di sebuah restoran. Semua itu ia lakukan demi tetap bisa bertahan dan mencari celah untuk mendapatkan pekerjaan. Menurut Matthew, faktor usia menjadi hambatan terbesar ia mencari kerja.
“Orang bisa saja menyukai CV saya, tapi ketika melihat saya beruban, botak, atau berkerut, itu pasti memberi kesan. Sulit dibuktikan, tapi saya yakin itu nyata,” katanya.
Meski begitu, ia tidak menyerah. Matthew mencoba berbagai strategi: membuat jadwal lamaran yang konsisten, menyesuaikan CV dengan posisi yang dilamar, menghadiri job fair, aktif di LinkedIn, menggunakan berbagai situs lowongan kerja, dan memanfaatkan jaringan profesional serta pribadi.
Menurutnya, jaringan adalah senjata paling ampuh. Beberapa wawancara yang ia dapatkan berasal dari bantuan teman atau kenalan yang memastikan CV-nya dilihat manajer HR.
Bahkan ketika orang-orang dalam jaringannya bekerja di perusahaan yang sedang tidak membuka lowongan, mereka sering mengenalkannya kepada orang lain yang sedang mencari kandidat. Ia bahkan mencoba menjadi relawan di organisasi nirlaba dengan harapan bisa bertemu orang yang dapat membantu di masa depan.
Matthew juga menggunakan ChatGPT untuk menelusuri lowongan, mencari tahu perusahaan lokal yang membutuhkan akuntan, atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan. Semua itu dilakukan dengan harapan sedikit meningkatkan peluangnya mendapat kerja.
Salah satu hal paling membuat frustrasi bagi Matthew adalah menunggu kabar dari perusahaan sampai berbulan-bulan. Ia perah ikut wawancara tatap muka beberapa kali, mengirim email ucapan terima kasih, namun baru dua bulan kemudian pihak perusahaan meminta maaf karena posisi yang dilamar sudah terisi. Ia merasa tidak dihargai.
Baru-baru ini, ia mendapatkan pekerjaan kontrak tiga hari seminggu sebagai akuntan dengan gaji US$ 28 per jam. Meski begitu, ia masih membutuhkan pekerjaan penuh waktu. Beban keuangan yang menumpuk membuatnya yakin bahwa pensiun hanyalah mimpi yang sulit dicapai. Matthew menyebut pengalaman ini sebagai bukti bahwa sistem perekrutan saat ini rusak.
Ia merasa bukan satu-satunya yang mengalami kesulitan ini, pekerja muda dan senior sama-sama menghadapi tantangan yang berat. Menurutnya, sistem ini perlu diperbaiki agar proses mencari kerja tidak menjadi siksaan bagi para pencari kerja yang serius dan berdedikasi.