Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada sebanyak 300 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mencatatkan kerugian, secara akumulasi total kerugian Rp 5,5 triliun. Salah satu penyebab utamanya yakni lemahnya tata kelola para BUMD.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, penyebab utama dari kondisi tersebut ialah lemahnya tata kelola BUMD. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya ketimpangan jumlah kepengurusan dalam kelembagaan BUMD.
“Lemahnya tata kelola BUMD ditandai dengan adanya ketimpangan jumlah dewan pengawas, komisaris, jumlahnya 1.993 artinya Dewan Pengawas Komisaris lebih banyak dibandingkan direksinya, 1.911,” ujar Tito, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi II DPR RI di Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Selain itu, ia juga menyoroti tentang perolehan dividen dari para BUMD yang hanya mencapai 1% dari total aset. Menurutnya, perolehan itu sangat memprihatinkan dan seharusnya perolehannya bisa dioptimalkan lebih dari itu.
Adapun secara akumulasi, saat ini total aset keseluruhan 1.091 BUMD dengan jumlah aset secara akumulasi mencapai Rp 1.240 triliun. Sedangkan untuk jumlah dividen yang dihasilkan secara akumulasi mencapai Rp 13,02 triliun.
Sedangkan perolehan laba hanya 1,9% dari total aset. Total laba BUMD tercatat mencapai Rp 29,6 triliun dan jumlah rugi sebesar Rp 5,5 triliun. Lalu untuk laba bersihnya mencapai Rp 24,1 triliun.
“Dan juga terjadi kelemahan pengawasan baik internal oleh BUMD yang bersangkutan juga eksternal karena ada 342 BUMD yang belum memiliki satuan pengawas internal, tapi pengawasan eksternal juga belum maksimal,” kata dia.
Sementara itu, jumlah BUMD sehat tercatat hanya sebanyak 346 BUMD atau 42% dari total 823 BUMD. Tito menyoroti kurangnya tata kelola dalam BUMD tersebut, di mana mereka kerap mengeluarkan modal besar namun imbal hasilnya tidak sepadan.
Ia pun mencontohkan, ada BUMD yang mengeluarkan modal sebesar Rp 30 miliar, namun keuntungan yang diperolehnya hanya Rp 87 juta dalam periode satu tahun. Selain itu, banyak juga yang struktur organisasinya diisi oleh tim sukses (timses) pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang kurang profesional.
“Kemudian ketidaksesuaian pada waktu membentuk BUMD dengan potensi daerah. Potensi daerahnya bidangnya pertanian, tapi bicaranya masalah konstruksi, BUMD-nya konstruksi. Nggak tepat. Padahal potensi lain, potensinya pariwisata, tapi kemudian masuknya ke masalah tambang. Nggak cocok gitu,” aja Tito, ditemui usai rapat.
“Akhirnya (BUMD) nggak hidup, nggak jalan. Dan akhirnya meminta, supaya hidup diberikan suntikan dari APBD. APBD-nya disuntik, bukan untuk membuat dia sehat, untuk biaya operasional. Tambah tekor lagi,” sambungnya.
Atas kondisi tersebut, sebagai pembina sekaligus pengawas, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan agar kewenangan untuk mengawasi BUMD langsung diberikan kepada eselon I yakni dengan membentuk Direktorat Jenderal BUMD. Sebab selama ini pengawasan dilakukan oleh Kepala Subdirektorat (Kasubdit) yang merupakan eselon III.
“Kalau dia ke lapangan, koordinasi sama kepala daerah, kalau gubernur mungkin terlalu jauh. Pasti dikasih, ketemunya nanti diwakil-wakilin semua, ketemu bupati pun mungkin susah. Kalau dia dirjen, lain lagi. Dia bisa kumpulkan semua stakeholder daerah, termasuk yang di pusat, juga daya dorongnya lebih tinggi. Itu kita harapkan, saran kita yang pertama, dari Kasubdit, naikkan jadi Dirjen BUMD,” katanya.
Simak juga Video: Kemendagri Akan Merger atau Hapus BUMD yang Rugi